MELAWAN KORUPSI
DENGAN BISMILLAH
Puluhan ulama, 7000 kitab kuning, dan hari-hari penuh
energi. Itulah suasana Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada November 2002.
Bolak-balik kitab kuning dibuka, ayat-ayat Al-Qur’an dirujuk, riwayat para
ulama terdahulu dicari revensinya. “Kami menyusun kitab fiqih khusus anti
korupsi,” kata Tuan Guru Hasanain Juani,motor para ulama ketika itu. “Islam
jelas mengajarkan antikorupsi,” kata Tuan Guru Hasanain, yang juga pengasuh
Pondok Pesantren Nurul haramain, Lombok Barat.
Namun belum ada kitab yang khusus menghimpun fikkih korupsi,
dalil larangan, dan contoh nyata tindakan antikorupsi.Setahun kemudian,
terbitlah kitab yang ditunggu-tunggu. Judulnya Fiqh Korupsi : Amanah vs
Kekuasaan, yang diterbitka oleh Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi
(Somasi), pegiat antikorupsi di Nusa Tenggara barat. Buku ini langsung disebar
ke seluruh Indonesia, termasuk ke pesantren-pesantren.
Terbitnya buku itu bukan satu-satunya hal penting. Menurut
Hasanain peraih Ramon Magsaysay Award 2011 gerakan antikorupsi makin mengakar
dengan dukungan para ulama. Langkah Somasi pun makin berayun kokoh dengan bekal
bismillah dan restu ulama.
Belakangan langakah Somasi sedikit melambat. Penerbitan buku
mandek. Regenerasi pun relatif terlambat. “Somasi masih diisi wajah-wajah yang
sama, “kata Dwi. Tuan Guru Hasanain menilai laju Somasi tak sekencang pada
periode 1998-2005. “Sekarang tak terlalu kelihatan,” kata dia. Semua itu di
akibatkan oleh susah cari donor, Somasi ogah menerima atau meminta bantuan
pemerintah atau Bank Dunia dengan alas an independensi. Meminta dana alumni
Somasi pun bukan gagasan bagus.
Strategi pun digelar. Manajemen keungan diperketat. “
Militan tapi tak didukung manajemen keuangan yang bagus bakal sia-sia,” kata Handriadi
Jamaluddin, Wakil Koordinator badan Pekerja Somasi. Pengaturan keuangan itu,
antara lain, semua pengurus wajib menyerahkan 70 persen pendapatan mereka (baik
dari honor program, menulis artikel di media, maupun honor sebagai pembicara
seminar) untuk kas lembaga. Jurus ini sanggup membuat Somasi memutar roda
lembaga yang butuh dana operasional sekitar Rp 150 juta setiap tahun.
Soamsi paham,gerakan antikorupsi tak mungkin dilakukan
sendirian itulah sebabnya, lembaga ini menggelar program penguatan partisipasi
warga, yang didanai Australian Community Development and Civil Society
Strengthening Scheme (Access), lembaga kemitraan pemerintah
Australia-Indonesia, pada 2010. Sudah pasti godaan dating dan pergi bagi
aktivis Somasi. Tawaran suap, uang, barang, dan seks, yang disorongkan pejabat,
adalah hal yang jamak. “Ada yang menyodorkan kunci mobil,” kata Hendriadi.
Ancaman kekerasan dan intimidasi juga silih berganti. Syukurlah, Somasi bisa
bertahan. “Kami bekerja dengan bismillah,” kata Ervyn.
Sumber : TEMPO